Senin, 05 April 2010

Penyempitan Makna : Sahabat


Manusia seringkai terlalu sombong ketika sudah membicarakan cinta. Menjadi seolah-olah sepele dan mudah untuk seukuran anak muda, saat ia menjustifikasi dirinya telah memiliki/mempunyai cinta mati-nya [atau cinta abadi atau cinta sejati atau cinta sehidup-semati, atau bahkan menyebutnya sebagai cinta hakiki. Oh, Whatever its love...]. Tentunya cinta ini dimaknai sebagai cintanya ia kepada lawan jenisnya, bukan yang lain. Niatnya baik: menjaga cintanya supaya tetap bersemi dan bisa panen [bahkan hasil panen pun ada saja yang menjadi busuk!!]. Ya menurut gue, itu baik. Tidak ada yang ingin mengganggu kesenangannya itu, kok. I’m swear! Tapi yang perlu digarisbawahi adalah, ketika mereka melakukannya dengan cara yang tidak bisa dibilang baik. Banyak dari mereka menggunakan cara-cara licik dan menghalalkan segala cara yang saat itu bisa ia pikirkan.

Seorang anak muda berani kiss by kiss dengan orang yang secara administratif tidak punya hubungan apa-apa. Seorang ikhwan [yang belajar agama namun tidak secara menyeluruh] “mengetep” ahwat yang ia sukai tanpa ada ikatan yang sah. Dan itu berlangsung tanpa sepengetahuan siapa-siapa. Dengan cara memacarinya, misalkan. Ini merupakan sesuatu yang bahkan tidak lucu untuk ditertawakan.

Anak muda di zaman ini telah kehilangan panutan yang bisa ia duplikasi. Ia datang, ia lihat, ia kuasai. Dan hanya ada sinetron kejar tayang yang telah menyampahi televisi. Adakah yang lebih berbobot selain adegan tangis dan kekerasan ini? Sungguh kita perlu ada perbaikan dalam segi moral dan sedikit lebih responsif lagi.

Anak muda di zaman ini telah mengalami pergeseran makna kata ‘teman’. Telah terjadi penyimpangan penafsiran dan penyempitan makna di setiap pola pikir para remaja secara masif. Takkan pernah terpikir oleh orang-orang zaman perang ‘45 bahwa kata ‘teman’ hanya sebatas arti orang yang dikenal, yang suka ngobrol, yang duduk sebangku pas sekolah, dan dia yang tahu-sama-tahu di keseharian. Status yang berada di puncak adalah [mereka menyebutnya dengan] pacar. Dengan berstatuspacar, implikasinya adalah di antara kedua orang yang punya hubungan pacar tersebut bisa dengan mudah mengakses diri untuk saling face to face, bertemu muka, jalan-jalan, ngapain aja, berdua aja secara legal. Ini parah! Bahkan level sahabatan sekarang tidak lebih baik dari pacar [urutan nomor dua setelah pacar]. kalau mau ketemuan hmusti ijin sama pacar. Mau ini harus sms si pacar. Mau itu ga boleh kalo ga ngasitaupacar. Terkesan pacar itu adalah rantai tahanan seberat 10 kg yang musti kita angkut ketika pergi ke mana-mana.

Trus, apa pula yang membuat mereka, para pelaku pacar betah dengan keadaan seperti itu? Apa karena mereka memang berhak untuk terus mengakses pasangannya itu secara unlimited. Ataukah mereka memang bisa dengan mudahnya mengeksplor sesuka hati ikatan yang mereka buat itu.?

Pernah terdengar opini yang berhembus bahwa pacar adalah acuan/motivasi semangat hidup. Ia merupakan helaan nafas yang membuat seseorang bisa tetap survive.
______________Maybe it’s right, and basically not wrong.

Tapi ketika dihadapkan pada sisi yang lain, hal tersebut tidak tepat. Realitas di lapangan, pacar bukanlah sebuah pemicu [yang bisa dikatakan sebagai sebab] seseorang bisa bertahan hidup dan mengejar impiannya. Pacar telah menjadi sebuah proccessing to life: sebagai proses kehidupan itu sendiri. Apalagi jika dikatakan sebagai akibat. Nggak, itu pendapat yang salah. Hubungan sebagai pacar telah disalah gunakan untuk memuaskan hasrat ego mereka. Nah, ketika sudah memasuki ranah individualisme seperti itu, kita tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Hanya menjadi penonton yang pasif. Hak masing-masing orang untuk berbuat semaunya.

Dan sekali lagi di zaman ini telah terjadi pergeseran makna yang sungguh picik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar