PENEGAKAN HUKUM ATAS PEMBAJAKAN SOFTWARE KOMPUTER:
PENEGAKAN HUKUM ATAS PEMBAJAKAN SOFTWARE KOMPUTER:
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan laporan studi yang diterbitkan oleh International Planning and Research Corporation untuk Business Software Alliance (BSA) dan Software & Information Industry Association (SIIA), dapat diketahui bahwa praktek pembajakan software di seluruh dunia sangatlah tinggi. Dalam laporannya tahun 2001, Indonesia dinyatakan sebagai negara pembajak software tertinggi urutan ke-3, di bawah Vietnam dan China. Tingkat pembajakan software ini sebanyak 90 % diserap oleh segmen konsumen untuk Personal Computer (PC) di rumah, sedangkan untuk segmen perusahaan hanya mencapai 10 %. Pelanggaran hak cipta atas software ini di Indonesia dilakukan baik oleh dealer maupun pengguna akhir, baik individu maupun korporat.
Saat ini menurut daftar yang dikeluarkan oleh USTR (United State Trade Representative), Indonesia juga masih masuk dalam kategori “priority watch list” karena dinilai masih banyaknya kasus pembajakan Hak Cipta khususnya VCD dan software.
Disadari atau tidak, pembajakan software di Indonesia memang marak terjadi, begitu mudah kita mendapatkan software-software bajakan dengan harga terjangkau di took-toko penjual software komputer, bahkan di pedagang-pedagang kaki lima. Kemajuan di bidang teknologi dirasakan turut mempermudah terjadinya pembajakan software.
Meskipun Indonesia telah mempunyai perangkat hukum di bidang Hak Cipta, akan tetapi rasanya penegakan hukum atas pembajakan software ini masih dirasakan sulit dicapai, dan sepertinya pembajakan software di Indonesia akan tetap terjadi, dan permasalahan ini tidak akan pernah dapat dituntaskan. II. BENTUK-BENTUK PEMBAJAKAN SOFTWARE
Pasal 1 butir 7 Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undagn No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (UUHC) menyatakan bahwa program komputer adalah program yang diciptakan secara khusus sehingga memungkinkan komputer melakukan fungsi tertentu. Pengertian yang lebih jelas mengenai software ini dapat dilihat di Australian Copyright Act, dimana dijelaskan bahwa software ini sesungguhnya meliputi source code dan object code yang merupakan suatu set instruksi yang terdiri atas huruf-huruf, bahasa, kode-kode atau notasi-notasi yang disusun atau ditulis sedrmikian rupa sehinga membuat suatu alat yang mempunyai kemampuan memproses informasi digital dan dapat melakukan fungsi kerja tertentu.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran atas suatu software dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : Pemuatan ke dalam hard disk. Perbuatan ini biasanya dilakukan jika kita membeli komputer dari toko-toko komputer, di mana penjual biasanya meng-instal sistem operasi beserta software-software lainnya sebagai bonus kepada pembeli komputer.
Softlifting, yaitu dimana sebuah lisensi penggunakan sebuah software dipakai melebihi kapasitas penggunaannya. Misalnya membeli satu software secara resmi tapi kemudian meng-install-nya di sejumlah komouter melebihi jumlah lisensi untuk meng-install yang diberikan.
Pemalsuan, yaitu memproduksi serta menjual software-software bajakan biasanya dalam bentuk CD ROM, yang banyak dijumpai di toko buku atau pusat-pusat perbelanjaan, Penyewaan software, Ilegal downloading, yakni dengan men-download software dari internet secara illegal
Menurut pasal 2 ayat 1 UUHC, Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberikan izin untuk itu dengna tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 4 dan 5 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindakan “mengumumkan” adalah penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan “memperbanyak” adalah tindakan menambah suatu ciptaan, dengan pembuatan yang sama, termasuk mengalihwujudkan suatu ciptaan. Dari ketentuan di atas dapat terlihat bahwa tindakan-tindakan pembajakan software tersebut termasuk dalam kategori melanggar Hak Cipta.
Atas pelanggaran Hak Cipta, maka pelaku pembajakan software ini dapat diancam dengan hukuman penjara selama 7 tahun atau denda maksimum 100 juta rupiah. Selain itu pencipta maupun pemegang hak cipta juga dapat melakukan upaya hukum secara perdata untuk menuntut ganti rugi, karena tindakan pembajakan software dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
III. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG TERJADINYA PEMBAJAKAN SOFTWARE
Ada banyak faktor-faktor yang mendukung terjadinya pembajakan software. Software adalah produk digital yang dengan mudah dapat digandakan tanpa mengurangi kualitas produknya, sehingga produk hasil bajakan akan berfungsi sama seperti software yang asli.
Selain itu, tidak disangkal lagi, satu hal yang mendukung maraknya pembajakan atas software adalah mahalnya harga lisensi software yang asli. Untuk perbandingan, harga lisensi Windows 98 adalah 200 dolar AS, sedangkan software bajakan dapat kita beli hanya dengan harga Rp. 10.000 saja. Andaikata di sebuah kantor mempunyai 20 buah komputer yang menggunakan windows 98, maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar 4000 dolar AS atau senilai hampir 40 juta rupiah. Itu hanya untuk sistem operasinya saja, belum termasuk program-program aplikasi lainnya.
IV. PENEGAKAN HUKUM ATAS PEMBAJAKAN SOFTWARE KOMPUTER
Penegakan hukum atas pembajakan software memang telah dilakukan. Pada bulan September 2001, Microsoft dinyatakan menang dalam kasus pembajakan software dan majelis hakim menghukum PT. Kusumo Megah untuk membayar ganti rugi sebesar 4,4 juta dolar AS. Keputusan ini bagi pihak produsen software dianggap sebagai kemenangan besar melawan pembajakan software di Indonesia sehingga diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang menghargai inovasi dan diharpkan dapat membangkitkan industri software lokal. Pada bulan Oktober tahun yang sama, Microsoft kembali memenangkan perkara yang sama, di mana tergugat yaitu empat penjual computer yaitu PT. Panca Putra Komputindo, HJ Komputer, HM Komputer dan Altex Komputer dihukum untuk membayar ganti rugi sebesar 4,7 juta dollar AS karena terbukti bersalah karena telah meng-install software Microsoft Windows dan Office pada komputer yang mereka jual.
Penegakan hukum di bidang pembajakan software ini memang mempunyai dampak yang baik karena dapat memperbaiki citra Indonesia di mata dunia internasional sehingga dapat meningkatkan investasi asing di bidang software di Indonesia, selain itu bagi pelaku industri software di Indonesia sendiri hal ini dapat membangkitkan semangat mereka untuk lebih berkreasi menghasilkan software-software baru yang mempunyai daya saing yang tinggi, karena tidak takut lagi kalau hasil karyanya akan dibajak oleh orang lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomis.
Meskipun edukasi dalam Gerakan Sadar HKI telah dilakukan, akan tetapi menurut penulis, sepertinya hal tersebut tidak akan dapat berjalan dengan baik, pembajakan software sepertinya akan sulit untuk diberantas. Faktor yang paling dominan adalah faktor ekonomis, dimana orang akan cenderung memilih software bajakan yang pasti jauh lebih murah dari software yang berlisensi.
Selain itu pembajakan masih akan tetap berlansung karena bagaimana mungkin para penegak hukum dapat memberantas hal ini jikalau mereka sendiri pada kenyataannya masih menggunakan software bajakan baik di komputer-komputer di kantor polisi, kejaksaan maupun pengadilan, yang dipergunakan untuk keperluan dinas maupun di komputer-komputer pribadi mereka. Jika aparat penegak hukum berkeinginan untuk menegakkan hukum di bidang ini, maka secara tidak langsung mereka harus menuntut dirinya sendiri karena turut pula melakukan pelanggaran. Menurut penulis hal ini tidaklah mungkin, karena itulah sampai dengan saat ini penulis berkeyakinan bahwa permasalahan ini tidak akan pernah berakhir, paling tidak sampai dengan saat di mana semua software yang dipakai oleh aparat penegak hukum terlah berlisensi.
Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
Penegakan Hukum di Indonesia
Berbeda dengan di Amerika Serikat perjuangan mewujudkan Independence Judiciary yang memerlukan waktu 100 tahun, Negara Indonesia mewujudkan pengadilan yang lepas dari kekuasaan eksekutif terwujud pada tahun 2004 yang memunculkan peradilan satu atap. Pada umumnya penegakan hukum tidak pernah berproses di ruang hampa. Tetapi selalu terkorelasi dengan variabel-variabel lain, seperti ideologi hukum, karakter hukum formal (acara), kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Juga tidak terlepas dari ideologi penegak hukum, tersedianya fasilitas bantuan hukum serta tingkat pendidikan dan kesadaran hukum masyarakat. Sistem peradilan Indonesia yang berbeda dengan sistem peradilan di negara Anglo Saxon, membedakan pula prosedur dan dasar penentuan putusan pengadilan. Yang di Anglo Saxon melalui sistem juri dan terikat dengan asas preseden, sedangkan di Indonesia dengan sistem Majelis Hakim dan tidak terikat dengan asas preseden. Masing-masing sistem peradilan tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan, sehingga sebagian otoritas peradilan mempergunakan sistem campuran. Dalam kasus tertentu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sering melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan di Indonesia, sebagai upaya konstitusi dan tambahan landasan pertimbangan hukum pengadilan dari putusan perkara tertentu yang dieksaminasi dalam hal meningkatkan pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum. Secara yuridis Pasal 19 ayat (5) UU No. 4 Tahun 2004 dan pasal 30 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004 ditegaskan adanya lembaga Dissenting Opinion yang mewajibkan pendapat Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.
Jadi..Kalau kita ingin menjadi warga Negara yang di pandang dengan baik maka janganlah membajak apa yang bukan karya cipta kita sendiri ,karena negara kita adalah negara Hukum, oleh karena itu harus siap mendapatkan sanksi hukumannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar